
Ini belum merupakan alarm bahaya, hanya peringatan bahwa kondisi ekonomi belum kembali ke level normal.
Jakarta (ANTARA) – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, deflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan (mtm) pada Mei 2025 menunjukkan kondisi ekonomi belum kembali ke level normal, namun belum menjadi alarm bahaya.
Ia mengatakan, deflasi kali ini terjadi akibat daya beli masyarakat yang belum pulih. Namun faktor yang lebih dominan, menurut Wijayanto, yaitu dampak siklikal berakhirnya Lebaran atau Idul Fitri.
“Ini belum merupakan alarm bahaya, hanya peringatan bahwa kondisi ekonomi belum kembali ke level normal,” kata Wijayanto saat dihubungi, di Jakarta, Selasa.
Senada, Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo memandang bahwa deflasi pada Mei 2025 belum menjadi alarm bahaya, karena masih dalam fase normalisasi pasca-Ramadhan dan Idul Fitri, sehingga bisa saja merupakan tren musiman.
“Yang perlu diwaspadai adalah apabila pelemahan terus berlanjut dan menyebar ke kelompok lainnya, yang kemudian bisa memicu perlambatan ekonomi lebih lanjut,” kata Banjaran saat dihubungi secara terpisah.
Menurutnya, perlu dicermati lebih lanjut perkembangan deflasi ke depan, apakah hanya gejala sementara atau kah memang bersifat struktural.
Sementara itu, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi da Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky menilai deflasi pada Mei 2025 memang menunjukkan adanya penurunan daya beli.
Menurut Riefky, ini bukanlah kabar baik, mengingat rilis data inflasi sejalan dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang cenderung menurun.
“Di sisi lain, memang prediksi banyak ahli menunjukkan bahwa kuartal II masih akan di bawah 5 persen (pertumbuhan ekonomi). Ini memang cukup mengkhawatirkan,” ujar dia.
Riefky menilai, paket stimulus ekonomi yang baru diluncurkan pemerintah memang mampu menjaga daya beli masyarakat, tetapi terutama hanya menyasar masyarakat miskin dan rentan. Sedangkan isu daya beli masyarakat kelas menengah masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan.
“Untuk masyarakat menengah ke atas memang mereka perlu peningkatan daya beli. Bagaimana caranya? Penciptaan lapangan kerja. Ini yang memang belum terjadi ke depannya,” kata Riefky.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi pada Mei 2025 sebesar 0,37 persen secara bulanan atau month to month (mtm), setelah dua bulan sebelumnya mengalami inflasi. Secara tahunan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) menurun menjadi 1,60 persen year on year (yoy).
Deflasi pada Mei 2025 terutama didorong oleh kelompok volatile food dengan andil sebesar 0,41 persen. Kelompok volatile food pada Mei 2025 mengalami deflasi sebesar 2,48 persen (mtm), lebih dalam dibandingkan deflasi bulan sebelumnya sebesar 0,04 persen (mtm).
Pada Senin (2/6), pemerintah meluncurkan paket stimulus ekonomi yang diberlakukan selama Juni hingga Juli 2025 dengan total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp24,44 triliun.
Paket stimulus ini, antara lain diskon transportasi, diskon tarif tol, tambahan bantuan sosial, bantuan subsidi upah, dan diskon iuran jaminan kecelakaan kerja.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam siaran pers, di Jakarta, Senin, mengatakan bahwa tujuan diberikannya insentif ini adalah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025 mendekati 5 persen.
“Kita harapkan pada kuartal II pertumbuhan ekonomi tetap bisa dijaga mendekati 5 persen dari yang tadinya diperkirakan akan melemah akibat kondisi global,” kata Menkeu.
Menkeu juga berharap seluruh stimulus dari pemerintah dapat menjaga konsumsi rumah tangga di tengah potensi perlambatan ekonomi global, sekaligus pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025
Leave a Reply